Rabu, 09 Februari 2011

Jalan setapak


Aku teringat dengan salah satu jalan setapak menuju rumahku. Jalan setapak yang sunyi. Jalan setapak tempaktu bernyanyi, tempatku bercerita, tempatku mengeluh, tempat yang menyimpan kenangan dan tempatku mengukir mimpi-mimpiku. 
Gersang di saat kemarau. Di setengah jalannya tertutupi serbuk besi pembuangan pabrik baja dan telingkupi pagar pabrik. Setengah lagi berdampingan dengan danau paksaan, danau kotor yang ditumbuhi eceng gondok. 
Becek di saat musim hujan. Keluargaku bertanya kenapa suka sekali melalui jalan itu. Mereka tak pernah tahu di sana aku pernah melihat senja paling indah seumur hidupku. Di sana pula aku bisa berkata tanpa malu, menerima semua geramku atas hari sendu yang kulewati. Jalan itu tetap bisu saat aku melewatinya bahkan dengan hati yang berbunga sekalipun.
Pagi selalu indah di sana, saat matahari menyapa dalam dingin, dalam mendung dan dalam hujan sekalipun. Embun di rumput sisi jalan seakan menyambut riangku menuju sekolahku. Senja di sana selalu datang dengan indah. 
Semuanya seakan selalu ingin membuatku rindu. Rindu untuk kembali. Menghabiskan sunyi di sana. Rindu dengan waktu itu yang penuh harapan. Rasanya semuanya baru kemarin. Sebelum kusadari waktu yang terentang panjang, menghadirkan aku di titik waktu sekarang.
‘Sekarang’ terkadang aku merasa asing di sana. Aku seperti bukanlah orang yang dari “sana, pun akhirnya aku pun bukanlah orang “di sini”. Pada akhirnya aku merasa seperti pengunjung yang datang. Yang terpisahkan periode waktu, “sekarang” dan “kemarin”. Dan aku resah.
Aku ingin saat kembali ke sana, aku merasakan lagi senja terindah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar