Kaum agamawan atau mereka-mereka yang mengklaim dirinya kuat beragama menyumbang peranan cukup besar terhadap maraknya kalangan muda terutama mahasiswa untuk memilih menjadi penganut sekularisme atau atheisme. Hal ini sebagai akibat dari monopoli kebenaran oleh kaum agamawan. Ketika kebenaran hanya berasal dari mereka meskipun ternyata mereka tidak benar, dan yang lain seperti apapun jika tidak sepihak akan dicap pasti salah meskipun ternyata yang lain yang benar, dan pasti dicap melakukan hal-hal yang tidak benar.
Agamawan di sini maksudnya agamawan yang gak memberi ruang dialektika. Ini mungkin sebagai akibat dari tak memahami metodologi ilmu. Dalam pencarian ilmu, terdapat dua fase penting, fase pertama yaitu mengetahui, fase kedua adalah fase memahami dan meneguhkan pengetahuan itu. Pada kedua inilah fase kritis, banyak muncul pertanyaan-pertanyaan setelah mengetahui (kadang pertanyaan yang sangat keras dan sangat kritis). Di fase inilah dibutuhkan kearifan seorang guru, bahwa seseorang tersebut bertanya karena ingin meneguhkan pengetahuannya, meneguhkan keyakinannya. Jangan pernah menghancurkan proses fase kedua ini hanya karena sebuah kebodohan dan kekurang pengetahuan akan jawaban yang diajukan. Jika tak tahu lebih baik diam, atau katakan saya tidak tahu.
Begitu juga dalam hal agama, jangan gampang mencap orang yang bertanya kritis karena setelah mengetahui dia ingin memahami dan menyakinkan dirinya, mencapnya sebagai penganut "Sekularisme" atau bahkan dengan mudahnya menyebut "Atheis". Jadilah teman dalam perjalanan itu. Jika tak bisa, arahkan kepada yang lebih berilmu.
Aku teringat akan perkataan seorang ulama NU, Said Agil Shiraz (CMIIW) dalam wawancara yang dimuat di Majalah Tempo, ketika ditanya tentang maraknya fenomena pemuda NU melalui wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) --pointnya sih ngarah ke Ulil Absar Abdala-- yang mempertentangkan ajaran Islam dengan kehidupan modern saat ini. Dengan bijak iya menjawab bahwa dalam Islam ada 5% dalil-dalil Naqli yang tak perlu lagi dipertentangkan atau masuk ranah dialektika, seperti ketauhidan Allah, hukum-hukum yang sudah telah tertuang dalam Al Quran dll. dan ada 95% dalil aqli yang "boleh" masuk ke ranah dialektika. Silahkan 95% itu didiskusikan. Sementara itu jangan mengganggu gugat yang 5% itu.
Teringat waktu SMA dulu dicap sebagai penganut sekularisme, gara-gara bertanya ke guru Agama tentang "apa arti kematian? bukankah mati itu akibat dari tak berfungsinya lagi sel-sel yang membentuk tubuh manusia?" dan ketika masuk pembahasan tentang segumpal darah yaitu hati "bukankah hati itu organ yang bekerja dalam proses metabolisme?“. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul karena baru saja mengetahui sesuatu. Padahal dari tetangga sebelah dapat dilihat bahwa yang dinmaksud dengan sekularisme adalah "suatu paham dan ideologi yang memisahkan diri sama sekali suatu bentuk keyakinan tertentu. Sekularisme lalu diidentikkan dengan “atheisme” karena tidak mengakui adanya “Yang Ilahi”. Dunia ini dianggap tidak ada sangkut pautnya dengan apa pun. Karena itu, bahkan batasan atau definisi “sekularisme” berarti paham menolak mengakui adanya “Pencipta”, “Dunia lain dari dunia ini”. Dalam paham sekularisme - karena tidak diakui adanya “Yang Ilahi” - sekularisme identik dengan atheisme".
Rasanya kok terlalu lebay pak guru yang satu itu. I am a muslim. Aku percaya adanya Allah SWT sebagai pencipta.
"Orangtua pandanglah kami sebagai manusia, kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta" (Iwan Fals, Bongkar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar