Kamis, 23 Desember 2010

Hujan dan kenangan empat sekawan


Ada yang mengatakan bahwa “di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu”. Ehm..baru saja aku membuktikannya. Sewaktu hujan tadi sore, suasana kebetulan sepi, lalu sambil sendirian minkoprok (minum kopi dan merokok) dan mengamati air hujan, tiba-tiba aku teringat kenanganku kepada 3 orang sahabatku di SMA. Tiga plus satu, jadinya kami empat sekawan, empat sekawan yang sangat komplit. Berbeda dalam banyak hal, termasuk perbedaan karakter yang mencolok dan berbeda agama

Pertamax, Aku. Classified Profile hehehehe…

Kedua, si Marko namanya, seorang muslim, sama seperti aku. Dia ini anak seorang pengusaha walet turun temurun, namun gayanya sangat sederhana. Gak kelihatan kalau dia anak orang kaya. I like this!. Main ke rumah dia, artinya party di kastil yang luas. Orangnya polos (saat itu), dan kami tahu siapa kembang desa yang membuat dia kembang kempis. Tapi gak kesampaian, karena pemalu dan gak mau dibantu, karena gak boleh pacaran dulu, kata ibunya. Namun kabar terakhir mengindikasikan kalau dia telah bertransformasi menjadi playboy cap tikus. Bukan tipe pemberontak orang tua, jadi kalau kami ngajak pergi, terus dia gak diizinin sama ortunya, maka dia gak mau kabur. Anak baik (elus-elus kayak kucing). Gak suka bola pula. 

Ketiga, si Namnung, Budhis, Tionghoa. Fisik tegap dan lincah. Seorang pemain bola yang tangguh (lupa, dia sempat masuk Timnas sekolah tidak ya), ibaratnya dia itu Xabi Alonzo-nya Real Madrid. Pemain penting di depan para back (ayo bertanyalah tentangku! yups aku back kiri, sama kayak Paolo Maldini-nya AC Milan lah. Anjriiit!! Gak penting!). Si Namnung ini orangnya agak pendiam, banyakan senyum dan paling males kalau diajak ngobrolin tentang cewek. Makanya paling gak bisa ditebak ke cewek manakah senapan cintanya akan diarahkan (gdubyur!). Sulit mendeteksi siapa targetnya. Kalau deket-deket cewek, mukanya gampang memerah. 

Dan yang keempat, perkenalkan inilah bos kami semua. Lumban namanya. Dia seorang kristiani, Batak asli. Kenapa disebut bos? karena asalkan mau nemenin dia main kesana-kesini itu artinya makan-minum gratis. Aku pernah nemenin dia beli sepatu bola. Selesai milihin punya dia, eh dia bilang “Lho suka warna yang mana? Lho ambil sepasang. Gw yang bayarin”. Busyet padahal hitungannya lumayan mahal tuh sepatu. Dia ambil yang warna merah, aku warna biru. Semerek dan setipe. Tapi maklum juga lah keluarga dia kan pemilik banyak ruko. Oh iya.. dia ini pemain tengah, katakanlah Darren Fletcher di Manchester United lah (Toweong..toweng! lebay). Tapi seringnya jadi cadangan, karena ada si Goval “Xavi Hernandez” di kelasku, kalau yang ini gak berlebihan, karena memang dialah generator permainan. Balik ke si Lumbanbatu, dia ini paling sering main ke rumahku, berapa kali menginap. Paling kenceng kalau ngucapin “Assalamualaikum” dan di antara yang lain dialah yang paling gak jaim kalau ditawarin makan sama ibuku (kalau main ga ngitung jam. Bisa seharian. Habis dech nasi hihihihi--just kidding). Dia sahabatku banget. Paling tahu semua rahasiaku dan paling setia kawan padaku. Sayangnya, sad story, akhir tahun 2007, dia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan di jalan raya. Rest in peace my friend!. Selamat jalan bos!.

Semuanya punya tipikal egois dan mau menang sendiri kalau berdebat, kecuali mungkin si Marko, pengalah dan sekaligus sering jadi objek candaan. Kami berempat kursus bareng, pulang sekolah jam 1, langsung cabut ke tempat kursus. Gak ada acara pulang ke rumah dulu, hitungan waktu gak memungkinkan. Makanya kami sangat akrab. Makan siang ya di warteg karena –paling murah— dibanding warung makan padang. Plus bawa T-shirt buat ganti seragam, maklum walau sekolah kami gak punya musuh tawuran, toh bisa saja ada “peluru” nyasar kalau pake seragam sekolah. Kebetulan rute perjalanan yang harus kami lalui terpaksa memasuk beberapa zona tawuran. 

Pulang dari tempat kursus biasanya jam setengah enam sore. Tapi karena ada acara tambahan berempat, dan memang selalu aja ada. Entah itu cuma makan di tenda biru atau nongkrong-nongrong. Sampai di rumah biasanya jam 9-an malam, capek!. Nah kan ada waktu-waktu sholat di antara waktu bersama itu. Si Lumban lah yang paling “cerewet” dan semangat, seperti bilang “wah udah adzan ayok ke mesjid dulu!” (ki sing muslim sopo rek?). Padahal sampai di mesjid, dia sama si Namnung cuma nongkrong-nongkrong di serambi. Sering berantem? Sering banget. Masalah naik bus yang mana aja bisa jadi ribut. Tapi cepat pula baikan dan ketawa-ketawa lagi. 

Dikejar Banci Salon

Pernah satu kali, sepulang kursus kami makan di tenda biru (ditraktir si boss). Selesai makan, duduk-duduk di pinggir jalan. Huff… di seberang jalan ada banci lagi berdiri depan salon, manggil-manggil ke kami, para pemuda ganteng harapan bangsa(t) ini. Entah siapa di antara kami yang merespon dan neriaki banci itu (sumpah bukan aku). Dikejarlah kami oleh sama prajurit pria bertopeng wanita itu, gdebak..gdebuk… kami pun tunggang langgang berpencar. Lalu tiga orang menyatu lagi dalam pelarian tersebut (kayak mau copot jantung rasanya, dag dig dug). Eh si Marko terpisah, dia lari ke dalam puskesmas, si banci juga lari kesitu. Dug… tapi tak berapa lama dia udah keluar lagi dari puskesmas, cuma muter aja dia rupanya di dalam psukesmas. Huffffttt selamat.  Gak lagi-lagi dech gangguin banci. Hihihihi…

Aku merindukan kalian, sobat empat sekawan. Tiga manusia unik. Beruntung sekali aku mengenal mereka. Di awal, sengaja ku-bold-kan dan ku-italic-kan tulisan “agama”, karena aku merasakan inilah salah satu pijakan pengalaman bagiku (kami) tentang bagaimana bertoleransi dan saling menghargai dengan sangat-sangat erat dalam berbagai perbedaan bahkan sampai yang sangat prinsip, menjadi bekal kemudian dalam hidup yang semakin penuh warna. It’s Indonesia.

Di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.

(DISCLAIMER: Nama disamarkan bukan untuk melindungi tokoh-tokohnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar