Tahukah gambar apa di atas?
Piala!. Ya tepat. Sebuah Piala, tepatnya Piala Citra
Inilah piala yang diberikan dalam Festival Film Indonesia (FFI). Ajang ini adalah ajang penghargaan tertinggi bagi dunia perfilman dan akting di Indonesia yang mulai diselenggarakan sejak tahun 1955.
Kata Citra sendiri yang berarti 'bayangan' atau 'image'. Citra kemudian dijadikan nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman kualitas film, berakting dan lain-lain.
Apakah Piala ini yang mau dikejar oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono?. Jika tidak. Mengapa pemerintahan saat ini lebih mementingkan image daripada kinerja nyata untuk memakmurkan rakyat. Padahal pemerintahan itu hal yang nyata, bukan sebuah film. Bukan sebuah akting seolah-olah.
Politik citra terasa semakin tidak relevan karena semakin banyak persoalan riil di sekitar kehidupan rakyat yang tidak tersentuh kinerja pemerintahan. Pernyataan SBY di media berbeda dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Masih ingat kasus-kasus dengan Malaysia selama SBY memerintah?Ambalat, penangkapan aparat oleh tentara Malaysia, dan permasalahan TKI.
SBY menjanjikan bahwa setiap bentuk yang mengganggu kedaulatan rakyat akan langsung diusir. Kenyatannya, janji itu tidak pernah dilaksanakan SBY. Bangsa besar ini seolah menjadi melempem dan ketakutan melindungi dirinya, kedaulatannya, harga dirinya yang diinjak.
Masih ingat janji SBY juga sering bicara ekonomi untuk rakyat serta agenda kesejahteraan bangsa?
Sedang faktanya nasib rakyat justru jauh dikatakan sejahtera.
Harga kebutuhan meningkat tajam. Mayoritas rakyat Indonesia itu sejak jaman dahulu makan nasi sebagai makanan pokok, bukan tiwul atau nasi aking. Pemerintah melansir bahwa angka masyarakat miskin menurun semenjak pemerintahan di bawah SBY. Yang benar menurun? Walah.... Ternyata indikator kemiskinannya yang diturunkan. Indikator yang berlaku secara internasional tentang pendapatan harian yang disebut miskin adalah Rp. 20.000/hari, angka penurunan angka kemiskinan yang diklaim pemerintah ternyata diperoleh melalui penurunan indikator tersebut hanya menjadi Rp. 7.000/hari. Pantasan angka rakyat miskin menurun drastis? hehehehe... ternyata!. Lalu Memperek (menteri perekonomian) mengatakan bahwa angka inflasi 6,6% yang tinggi itu hanya asumsi saja. Asumsi saja? Di lapangan mungkin sudah lebih dari 10%.
Lihatlah contoh di Trenggalek tentang harga-harga yang meningkat tajam dan kemiskinan. Akibat harga-harga kebutuhan yangg kian melambung ratusan keluarga di yg kebanyakan petani ladang hidupnya semakin menderita. Mereka makan tiwul. Tiwul dipilih karena murah, bisa dibeli dengan harga Rp 2.000/kg. Sedangkan beras, harganya tak terjangkau mereka. Kan ada beras untuk rakyat miskin (raskin)? Warga di sana sudah melupakannya karena sejak enam bulan silam beras dari pemerintah itu tak datang lagi menghampiri mereka Liputan6.
Di Mamuju ada pasangan Kamaluddin & Suryanti di Jalan Pemuda, Binangan, Mamuju, Sulawesi Barat, mendapat durian runtuh setelah tiga hari tak makan karena kehabisan beras. Akhirnya mereka bisa makan setelah penderitaan mereka diberitakan sejumlah media. Jika tak ada beras, biasanya keluarga ini hanya mengganjal perut dengan masakan kangkung liar yang tumbuh di sekitar rumah. Liputan6
Politik citra tak memakan korban?
Jika kejadian di dua tempat itu tak mau dimasukkan sebagai korban silahkan saja. Toh korban nyawa pun kan sudah terjadi. Ingat korban nyawa di Istana Negara pada saat hari pertama Lebaran. Yang awam mungkin akan menyangka rakyat berkumpul untuk melihat presidennya. Hahay... ternyata! Lembaran dan bungkusanlah yang menyebabkan rakyat miskin menyemut di Istana Negara.
Sumber: Kompas
Sumber Gambar: Nak Joko
Sumber: Kompas
Sumber Gambar: Nak Joko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar